Friday, February 21

Sesederhana itu...

Pernah gak dalam fase hidup kalian, kalian mengalami yang rasanya sayang sama orang? Orang disini bukan sosok Tuhan, keluarga, atau sahabat. Tapi lebih menuju ke satu sosok lawan jenis yang kalian rasa sengaja dikirim Tuhan untuk menemani kalian, untuk menunjukkan kalian kalo ngga semua malaikat itu invisible. Saya pernah. Saya sedang merasakannya. Sejak setahun lebih yang lalu. Sudah pernah juga saya singgung sebelumnya bagaimana pertemuan itu bermula. Pertemuan yang sampai saat ini masih teringat dengan jelas kronologinya.

Saya belum memahami kalau dia adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menemani saya, sampai akhirnya hari demi hari berlalu, dan sekarang, saya takut kehilangannya. Dalam kurun waktu satu tahun, semuanya berubah dengan sangat pesat. Kehadirannya, mampu meleburkan semua ketakutan yang selama ini saya alami. Senyumannya, mampu meluluhlantakkan segala kesedihan yang saya rasakan. Kehangatannya, mampu menghentikan kuatnya putaran waktu dan membuat saya seakan tidak membutuhkan siapa-siapa lagi kecuali dia. Sesederhana itu.

Saya tidak tau kata yang tepat untuk menggambarkan rasa yang saya alami ini. Saya sendiri menilai rasa ini sudah terlalu berlebihan, tapi setiap orang berhak beropini bukan? Berbincang dengannya membuat saya tidak ingin berhenti berbicara. Seandainya kenangan-kenangan itu tetap tersimpan tanpa cela, saya pastikan saya mampu hidup jika hanya bersama kenangan-kenangan itu. Seandainya mereka bisa saya simpan dalam sebuah tabung transparan, saya mampu memiliki tempat tinggal hanya dengan tabung itu sebagai perabotnya. Sesederhana itu.

Untuk saat ini, segalanya masih tetap sama. Masih akan tetap sama. Entah untuk berapa lama. Saya sempat menyesali sifat saya yang seperti ini. Sifat saya yang terlalu percaya pada sosok-sosok yang saya sayangi. Sifat saya yang selalu mampu terpaku hanya pada satu sosok dan benar-benar memberikannya seluruh rasa sayang yang mampu saya berikan. Sifat saya yang terhitung sulit untuk meninggalkan semua-muanya yang memang harus berlalu. Sifat saya yang sulit untuk pergi. Rumah baru yang saya miliki ternyata tidak bertahan lama. Saya terlalu bodoh untuk tidak memilih pondasi yang sangat kuat. Saya terlalu naif untuk percaya bahwa semua yang pergi pasti akan diganti dengan lebih baik. Entah dengan harus kalimat apa lagi saya mendeskripsikan malaikat yang terpaksa harus pergi karena jangka waktu yang ia punya telah habis. Entah kapan Tuhan akan menggantikannya dengan malaikat yang lebih baik dan memiliki jangka waktu yang lebih lama. Semoga malaikat yang sempat menjaga saya bisa menemukan sosok yang lebih baik dan mampu membuatnya bahagia. Semoga malaikat itu tidak semerta-merta melupakan saya seraya ia berhenti menjaga saya. Semoga, ia lebih mampu membahagiakan Tuhan dengan sosok barunya. Sesederhana itu.

....namun seandainya sesederhana itu, apa bisa saya meminta Tuhan agar ia tetap menjaga saya? Atau setidaknya, menjadikan perasaan yang sedang bergejolak ini lebih sederhana? Supaya pada akhirnya, saya bisa dengan cepat melaluinya, mengikhlaskannya.

0 comments:

Post a Comment