Sunday, June 1

Karena Opini Bebas dari Kata Salah

Beberapa hari yang lalu, saya berbincang dengan kerabat yang sudah lama tidak saya jumpai. Dari sekian banyaknya hal yang kami perbincangkan, saya paling ingat kalau dia tiba-tiba berbicara seperti ini, "pengen deh punya pacar, tapi males kalo inget masa depan, tapi pengen punya sosok yang peduli sama kita". Saya refleks tertegun. Bukan karena apa-apa, tapi karena tipe seseorang seperti dia bukan sosok yang cocok untuk meresahkan persoalan masa depan, hahaha. Enggak, kata-kata itu gak menyentuh hati saya. Justru, akuilah, terlalu naif berbicara mengenai pacar, masa depan, dan sosok yang mampu mempedulikan kita dalam satu garis kausalitas.

Pertama, pacar. Ya, subjek utama dari serangkain kutipan tadi itu sudah jelas mengenai pacar. Apasih sebenernya pacar itu? Saya juga gak paham, dan saya yakin jawabannya pun relatif. Tergantung kepribadian orang yang jawab, dan dari sudut pandang mana dia menilik. Teman saya--panggil saja X--pernah berkata, "halah yang ki opo to? ra ceto. nek wis nikah gek wis enek surat, wis tercatat karo negara, ndue cincin nggo pengikat. iku baru isoh dipermasalahke. lho iki? ora usah dipermasalahke, soale nek kui wis jelas-jelas masalah". "Alah pacar tuh apa sih? Gak jelas. Kalo udah nikah terus ada surat, udah tercatat sama negara, punya cincin sebagai pengikat, itu baru bisa dipermasalahkan. Lah ini? Gak usah dipermasalahkan juga udah jelas-jelas masalah" waktu itu saya membenarkan ucapannya, dan iya memang benar. Kami bukan sosok yang anti pacaran seperti yang kamu kira kok. X ketika itu juga punya pacar, bahkan umur hubungan mereka sudah tergolong lumayan, 4 tahun, berbeda dengan saya yang baru pertama kali meniti karir dalam hubungan yang sayangnya belum sejauh mereka. Kami hanya berbicara realistis dari sudut pandang senormal-normalnya manusia yang terlepas dari pengaruh cinta-itu-buta.

Dalam agama saya sendiri, sebenarnya pacaran itu dilarang. Tapi gak munafik, ketika ada satu orang yang bisa ngasih kenyamanan berlebih, saat itu juga kita bisa mengabaikan larangan itu. Memang, kenyamanan itu bisa didapat dari banyak orang. Keluarga, sahabat, mereka selalu ada, tapi jangan lupa kalau Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan sehingga mau ngga mau kita membutuhkan lawan jenis yang mampu memenuhi separuh kita. Terlalu dini? Bisa dibilang seperti itu. Tapi, kembali pada kenyamanan, saya tidak bisa serta-merta menolak kenyamanan yang tidak dari semua orang saya mampu mendapatkannya.

Lalu, hubungannya dalam konteks masa depan, seharusnya, justru seorang kekasih yang baik itu mampu mengarahkan, menopang, dan memapah pasangannya ke arah yang lebih baik. Secara tidak langsung, 'lebih baik' yang mampu dihadirkan oleh kekasih tadi mampu membawa kita menuju masa depan yang juga lebih baik. Setidaknya, begitulah teori berbicara. Jadi, menurut saya sendiri, salah ketika seseorang berbicara mengenai kekasih (yang sebenarnya) dan masa depan secara berbanding terbalik. Kekasih yang benar tidak akan menodai, apalagi mengganggu keberlangsungan hidup kita saat ini yang mampu mempengaruhi masa depan. Dia akan senantiasa berdiri hanya untuk sekedar mengetahui bahwa apa yang kita kerjakan saat ini tidak menuntun kita ke arah yang salah.

Peduli. Ya, sudah jelas kekasih adalah salah satu sosok kerabat yang mampu memberikan rasa pedulinya pada kita. Tapi jangan salah, kita juga bisa mendapatkannya, dari keluarga, sahabat, bahkan dari temanpun kita bisa merasakannya. Hampir mirip dengan kenyamanan, peduli yang kita dapat dari kekasih itu akan terasa berbeda dibanding peduli-peduli yang dilontarkan sosok lainnya. Dalam konteks ini saya tidak pro ataupun kontra dengan pernyataan teman saya yang diawal telah saya kutip, hanya saja...ah terlalu sulit mengungkapkannya. Pada akhirnya, kekasih bukanlah sesuatu yang mampu dijadikan alasan pengganggu masa depan, kekasih memanglah terlabelling sebagai sosok yang satu-satunya terlihat mampu mempedulikan kita, namun ada kalanya kita sadar bahwa kepedulian mampu hadir dari siapa saja, bahwa banyak sosok yang menyayangi kita selain makhluk bernama kekasih di luar sana.


Read More

Monday, May 26

kembali?

aku sudah hampir lupa bagaimana rasanya kembali
kembali dalam semua awal keterciptaan
kembali dalam semua keberadaan
kembali dalam semuanya yang menimbulkan ada
aku lupa bagaimana damai dari kembali
mungkin ia lebur seumpama pasir yang direngkuh dalam untaian jemari?

kembali tak selalu lebih gelap
tak selalu lebih bercahaya
kembali itu ke-anarki-an
yang tergores akibat pecahan kaca yang orang torehkan

jika saja untuk kembali itu mudah

Read More

Sunday, March 16

Hebatnya antonim


Ngga akan seseorang disebut-disebut cantik kalau ngga ada kehadiran si jelek. Nggak akan ada sebutan miskin kalo ngga hadir juga si kaya ditengah-tengahnya. Ngga ada kategori tinggi kalau ngga ada pendek disekelilingnya. Nggak ada yang namanya berkah kalo gak ada musibah yang menjadi acuan. Nggak akan ada yang namanya sakit kalo gak ada sehat sebelumnya. Semua ada karena ketiadaan. Kehidupan hadir dari kehampaan. Dan kausalitas itu mutlak.
Read More

Sunday, March 9

Ini Aksiku! Mana Aksimu?!

Hai!!! H-21 menuju Earth Hour hehehe. Well , tau kan earth hour? ituloh event yang kita matiin lampu selama sejam.Ya, pasti sekelibet pernyataan seperti itu yang terlintas dipikiran kita kalo mendengar kata Earth Hour haha. Kenapa saya bilang begini? Karena gak munafik, sayapun melakukannya sebelum saya tahu lebih lanjut seperti sekarang. Iya, untuk saat ini saya sudah lebih tahu. Ternyata Earth Hour gak cuma terbatas di situ, tapi mencakup banyak hal. Apapun yang kita bisa lakukan untuk lebih ramah terhadap bumi, itu juga lah yang menjadi 'cakupan wilayah' Earth Hour ini. 

Saya sendiri tau Earth Hour itu sejak saya duduk di bangku SMP. Entah bagaimana kronologinya, tapi yang mampu saya ingat hanya satu hal: matikan lampu dan listrik selama satu jam. Bukan maksudnya membanggakan diri atau ingin melampirkan suatu pencitraan, namun memang setiap kali saya dengar Earth Hour akan diadakan, saya selalu excited. Entah mengapa. Waktu itu, saya belum mengerti kalau acara ini diadakan setiap tahunnya diseluruh dunia. Bahkan saya baru tahu kalau ternyata Earth Hour itu juga memiliki puncak acara yang biasanya diadakan si tiap kota yang sudah mendedikasikan dirinya untuk bergabung. Satu kota, satu acara besar, sebagai simbolis. Ya, Solo yangkalau tidaksalahdua tahun lalu mendedikasikan diri untuk bergabung ke komunitas itu mampu memberi saya pelajaran baru untuk yang kesekian kali. 

Singkat cerita, saya mengajukan diri menjadi volunteer acara Earth Hour Solo ini. Dan, disinilah semuanya bermula. Eits, bukan apa-apa, tapi permulaan saya mengetahui lebih luas mengenai Earth Hour. Saya akui, mereka semua mulia. Ya, orang-orang yang bergabung di dalamnya. Ternyata, manusia se-serakah itu, hingga akhirnya keserakahan itu menjadikan bumi rapuh.  Sebelumnya, saya ingin menegaskan bahwa disini saya bukan hadir untuk menjadi seseorang yang sok suci yang tidak pernah melakukan sedikitpun perbuatan yang bisa menambah keusangan bumi. Saya hanya ingin sedikit merekonstruksi segala hal yang mampu saya rekonstruksikan, dengan tujuan supaya siapapun manusia yg belum tahu mampu mengerti, dan syukur-syukur mampu merubah pola hidupnya menjadi lebih 'hijau'.

Berawal dari komitmen yang dibuat oleh para volunteer, saya pun semakin terbiasa. Pada awalnya, saya sudah sadar bahwa saya adalah tipe orang yang selalu mematikan lampu ketika tidak diperlukan. Oleh karena itu, saya berkomitmen untuk menggunakan listrik seperlunya. Setelah itu saya juga berkomitmen untuk mengurangi penggunaan tissue dan membawa tumbler sendiri kemanapun saya pergi. Tidak munafik, kita semua butuh listrik, kita butuh tissue, dan pastinya kita membutuhkan air minum dalam melakukan aktivitasyang terkadang tidak bisa kita pungkiri bahwa kita untuk memutuskan beli. Saya tekankan sekali lagi, keberadaan Earth Hour disini bukanlah memaksa manusia melakukan hal-hal yang sekiranya bisa merusak bumi, namun meminimalisir. Jika dilihat, memang ini hanyalah hal sepele yang terlihat tidak berefek apa-apa. Tapi coba silahkan dipikir matang-matang, jika satu persatu orang mulai menyadarinya, berapa persen bumi mampu terselamatkan? 

"Everything starts with one."

Dua minggu silam, komunitas Earth Hour di seluruh kota melakukan aksi serentak dengan tema #plastiktakasik, sedangkan hari ini kami kembali mengadakan aksi serentak dengan tema #BijakKertas. Di Solo sendiri, aksi ini diadakan di Jl. Slamet Riyadi bersamaan dengan diadakannya Car Free Day. 


Jadi, ini aksiku! Mana aksimu?!
Read More

Friday, February 21

Sesederhana itu...

Pernah gak dalam fase hidup kalian, kalian mengalami yang rasanya sayang sama orang? Orang disini bukan sosok Tuhan, keluarga, atau sahabat. Tapi lebih menuju ke satu sosok lawan jenis yang kalian rasa sengaja dikirim Tuhan untuk menemani kalian, untuk menunjukkan kalian kalo ngga semua malaikat itu invisible. Saya pernah. Saya sedang merasakannya. Sejak setahun lebih yang lalu. Sudah pernah juga saya singgung sebelumnya bagaimana pertemuan itu bermula. Pertemuan yang sampai saat ini masih teringat dengan jelas kronologinya.

Saya belum memahami kalau dia adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menemani saya, sampai akhirnya hari demi hari berlalu, dan sekarang, saya takut kehilangannya. Dalam kurun waktu satu tahun, semuanya berubah dengan sangat pesat. Kehadirannya, mampu meleburkan semua ketakutan yang selama ini saya alami. Senyumannya, mampu meluluhlantakkan segala kesedihan yang saya rasakan. Kehangatannya, mampu menghentikan kuatnya putaran waktu dan membuat saya seakan tidak membutuhkan siapa-siapa lagi kecuali dia. Sesederhana itu.

Saya tidak tau kata yang tepat untuk menggambarkan rasa yang saya alami ini. Saya sendiri menilai rasa ini sudah terlalu berlebihan, tapi setiap orang berhak beropini bukan? Berbincang dengannya membuat saya tidak ingin berhenti berbicara. Seandainya kenangan-kenangan itu tetap tersimpan tanpa cela, saya pastikan saya mampu hidup jika hanya bersama kenangan-kenangan itu. Seandainya mereka bisa saya simpan dalam sebuah tabung transparan, saya mampu memiliki tempat tinggal hanya dengan tabung itu sebagai perabotnya. Sesederhana itu.

Untuk saat ini, segalanya masih tetap sama. Masih akan tetap sama. Entah untuk berapa lama. Saya sempat menyesali sifat saya yang seperti ini. Sifat saya yang terlalu percaya pada sosok-sosok yang saya sayangi. Sifat saya yang selalu mampu terpaku hanya pada satu sosok dan benar-benar memberikannya seluruh rasa sayang yang mampu saya berikan. Sifat saya yang terhitung sulit untuk meninggalkan semua-muanya yang memang harus berlalu. Sifat saya yang sulit untuk pergi. Rumah baru yang saya miliki ternyata tidak bertahan lama. Saya terlalu bodoh untuk tidak memilih pondasi yang sangat kuat. Saya terlalu naif untuk percaya bahwa semua yang pergi pasti akan diganti dengan lebih baik. Entah dengan harus kalimat apa lagi saya mendeskripsikan malaikat yang terpaksa harus pergi karena jangka waktu yang ia punya telah habis. Entah kapan Tuhan akan menggantikannya dengan malaikat yang lebih baik dan memiliki jangka waktu yang lebih lama. Semoga malaikat yang sempat menjaga saya bisa menemukan sosok yang lebih baik dan mampu membuatnya bahagia. Semoga malaikat itu tidak semerta-merta melupakan saya seraya ia berhenti menjaga saya. Semoga, ia lebih mampu membahagiakan Tuhan dengan sosok barunya. Sesederhana itu.

....namun seandainya sesederhana itu, apa bisa saya meminta Tuhan agar ia tetap menjaga saya? Atau setidaknya, menjadikan perasaan yang sedang bergejolak ini lebih sederhana? Supaya pada akhirnya, saya bisa dengan cepat melaluinya, mengikhlaskannya.
Read More

Wednesday, February 19

Pray for Indonesia.


Hai, memasuki minggu kedua tahun ajaran baru saya sedikit nervous. Entah kenapa haha mungkin atmosfernya aja yang seakan memaksa saya buat harus merubah pola hidup yang bisa menggagalkan untuk bisa dapet IP yang lebih bagus. Sejauh ini memang belum keliatan gimana gimana dosen dan sistem pembelajaran yang bakal saya tempuh, tapi satu hal yang pasti...saya harus bisa lebih serius. Membandingkan IP saya dengan teman-teman sedikit memberi saya acuan untuk bisa lebih serius, walau pada nyatanya alhamdulillah saya masih bisa ambil sks full sampai semester ini. Haaah mbok syukuri apa yang ada to ndok.....eits, mensyukuri bukan berarti kita gak perlu berusaha untuk bisa menjadi lebih baik dong hehe kalo bisa, why not?

By the way, beberapa hari kemarin saya dapet pengalaman yang benar-benar waw. Sepeninggal meletusnya gunung Kelud silam, kota rantau saya turut merasakan dampaknya. Dan saat itu juga, saya perdana merasakan bagaimana rasanya berada dalam situasi ketika alam memberontak. Di malam gunung akhirnya meletus, saya dan teman kos dan juga warga Solo lainnya, mampu mendengar dengan jelas bagaimana dentuman suaranya. Kalo digambarkan, suaranya serupa suara petir tapi bedanya suara ini kontinu gak berhenti-berhenti mungkin ada sekitar 3-5 menit. Bersamaan dengan itu, saya juga merasakan getaran yang memang gak hebat, bahkan terhitung kecil karena barang-barang gak sampai pindah tempat. Tapi nyatanya, getaran itu mampu membuat kaca rumah seberang kos saya serta fiber ikut bergetar. Dan dari cerita seseorang yang saat itu lagi asyik nonton di XXI, dia juga mampu merasakan getarnya, bahkan mungkin lebih terasa daripada yang saya rasakan. Alhamdulillah, Allah masih menjaga kota ini dengan enggan memberi yang lebih parah. Saya masih mampu tidur nyenyak pada Kamis malam namun lebih menuju Jumat dini hari itu. Sebangunnya saya di pagi hari, saya dikabarkan melalui sms untuk tidak keluar kos pada hari itu. Saat itu juga saya tahu bahwa Solo dilanda hujan abu. Jujur saya tidak percaya, sampai akhirnya saya memastikan sendiri dengan melihat pemandangan luar secara langsung. Yah, benar saja. Satu hal yang mampu saya petik saat itu, "sehebat ini Allah mampu merubah kehidupan seseorang hanya dalam sekejap". Bagaimana tidak? Saya yang tidak pernah merasakan bagaimana bencana alam, dan notabenenya juga tidak pernah membayangkan, dalam seketika itu pula saya mendengar langsung suara letusan gunung + getarannya beserta hujan abu langsung dari letusan gunung berapi tersebut. Saya ngga mampu membayangkan bagaimana warga lyang berdomisili disana menyikapi bencana seperti ini. Saya sendiri yang letaknya jauh dari lokasi kejadian merasa bahwa efeknya sangat mempengaruhi. Belum kelar dengan banjir Jakarta dan musibah gunung Sinabung, warga Indonesia sudah harus merasakan bencana lain seperti ini. Benar-benar saya ngga bisa membayangkan bagaimana perasaan warga setempat. Saya turut simpati atas kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini melanda NKRI #PrayForIndonesia. Semoga semuanya akan membaik sesegera mungkin, dan semoga kejadian ini mampu menyadarkan kita akan kurang lebihnya peran manusia sehingga mampu menjadi pribadi yang lebih baik. Dan semua warga yang merasakan efeknya mampu diberi kesabaran dan ketabahan menjalani bencana ini. Allahuma amin. 
Read More

Friday, January 31

Pertemuan Singkat

Hari ini, alasan kebahagiaan masa lalu saya akhirnya memberanikan diri untuk keluar dari zona nyamannya demi menjumpai—yang tak lain juga merupakan—alasan kebahagiaannya di masa lampau. Hari ini, saya kembali diberikan kenyamanan oleh rumah yang dahulu pernah saya huni. Dan hari ini, saya kembali disadarkan bahwa rasa syukur tidaklah sulit untuk dipanjatkan, bahwa kita selalu dapat menemukan alasannya di setiap lembar kehidupan. 

Pertemuan ini merupakan pertemuan yang akhirnya diadakan setelah berbulan-bulan yang lalu kami bersua dan bercengkrama. Pertemuan yang.......yah, tergolong sangat singkat :") Mereka adalah kebahagiaan yang saya temukan ketika saya menduduki bangku SMA beberapa tahun silam, dan saya yakin bahwa saya juga bagian dari masing-masing alasan mereka mampu menceritakan memori-memori konyol mengenai kehidupan kepada anak-anaknya kelak. Hebatnya, biasan kebahagiaan yang mereka ciptakan ngga berhenti begitu aja seraya kita pisah dan kemudian dipenjara oleh kesibukan masing-masing. Bahkan sampai detik ini, saya mampu merasakan euphoria bahagia hanya dengan menatap foto-foto seputar kami. Ya, sesederhana itu. 

Kali ini, waktu kami buat singkat dengan karaoke. Ya, karaoke dua jam bersama mereka itu engga terasa. Jangankan dua jam, dua tahun menjalani hidup bareng aja engga berasa, tau-tau pisah. Haha siapa yang hebat, saya juga ngga ngerti. Entah itu waktu, entah itu mereka, saya rasa keduanya sama-sama hebat, dan gak heran kalo hasilnya juga segini berpengaruhnya ke hidup saya. Saya sudah sering mengungkapkan hal ini di postingan-postingan sebelumnya, bahwa mereka adalah penopang jarak jauh yang mampu menyadarkan saya bahwa ini nyata. Pedih yang saya alami akibat berpisah sementara dengan mereka, selalu mengingatkan saya bahwa hanya saya sendirilah yang mampu menyudahi hal itu. Secepat mungkin. Untuk kemudian bisa "pulang".

Obrolan sederhana mengenai rencana jangka pendek dan impian masa depan juga mewarnai pertemuan kala itu. Mengenai perjalanan-perjalanan luar kota yang belum sempat dan belum mampu dilakukan oleh bocah tengik semasa SMA dulu. Perjalanan sederhana ke tempat baru yang ingin kami jelajahi, gunung-gunung yang ingin kami daki, dan laut yang ingin kami arungi. Ya, saya rasa kota lain juga berhak mendengar gelak tawa yang terangkai dari bibir kami. Impian-impian masa depan mengenai wisuda dan pernikahan, yang entah kenapa hal satu ini tidak pernah bosan untuk dibahas. Mengenai salah satu dari kami yang insyaAllah akan wisuda tahun depan, dan siapa antara kami yang nantinya akan menikah duluan. Mengenai kebaya macam apa yang akan kami kenakan di setiap pernikahan masing-masing dari kami, dan siapa saja yang akan hadir di wisuda masing-masing dari kami. Mengenai apakah pada akhirnya X akan bersama dengan Y, W bersama dengan X, ataukah J dengan K. Dan banyak pembicaraan-pembicaraan lain yang mengalir begitu saja, yang mampu menuntun kami ke dalam kesadaran dan pemahaman bahwa kami telah banyak melangkah, bahwa setiap langkah yang kami pilih menjadikan kehidupan yang kami jalani kian runyam, bahwa hidup tidak pernah sama, dan bahwa disetiap fakta yang tadi disebutkan, kami berusaha untuk selalu mampu bersama.
Read More

Monday, January 27

Antara ngeluh dan merenung

27 Januari, semakin dekat menuju ajaran baru semester IV. Menuju lembaran baru di kehidupan mahasiswa yang ngga terlihat kaya kehidupan mahasiswa. Menuju hari keberangkatan ke tanah rantau untuk mulai babak hidup baru yang lainnya. Postingan kali ini lebih menuju ke renungan diri, dimana saya sadar bahwa saya sudah membuang banyak hal, termasuk waktu. Mungkin kalian berpikir bahwa saya terlalu banyak omong. Mungkin ketika membaca ini, dalam hati kalian mencibir 'udah tau begitu, bukannya diperbaikin, malah ngumbar'. Saya juga kurang paham kenapa saya memilih untuk menuliskannya disini, bukannya merancang list apa saja yang harus saya rombak dalam hidup saya supaya ke depannya ngga ada lagi yang terbuang sia-sia.
Saya mulai masuk ke dunia perkuliahan sekitar 1,5 tahun yang lalu, tapi saya ngga benar-benar merasa kuliah. Entah mengapa, saya merasa ini semua terasa hanya formalitas untuk mendapat gelar. Ya, hanya sekedar gelar supaya tidak kalah bersaing dalam era seperti ini dalam mencari lapangan pekerjaan. Status saya memang mahasiswa, tapi saya tidak pernah paham permasalahan politik dan ekonomi yang melanda negara ini. Saya tidak tahu siapa itu Anas, saya tidak tahu kenapa Farhat Abbas kerap kali dibicarakan masyarakat. Entah apakah ini bentuk keapatisan atau memang saya yang kurang peka terhadap permasalahan politik Indonesia. Pengetahuan umum saya terlampau rendah untuk ukuran mahasiswa semester 3, dan saya merasa jati diri saya belum dapat saya temukan sampai saat ini. Saya bahkan belum paham bakat saya, I don't know what I am good at. Ya, tidak jarang saya iri melihat orang-orang yang aktif di bidangnya, yang asyik melakukan hal yang dia suka dengan keahlian yang menonjol. Tidak jarang juga saya termotivasi untuk melakukan gerakan perubahan dalam hidup saya tatkala melihat pemandangan seperti itu, namun juga umumnya resolusi, itu semua hanya berlalu lalang dalam waktu yang singkat. Disinilah kebodohan saya dimulai.

Belum lama ini, saya melihat pict seperti ini di timeline twitter saya,
dan layaknya energi elektromagnetik, saya terkejut. Haha mungkin saya hanya merasa tersindir, karena selama ini liburan yang saya rencanakan hanya berada dalam sebuah tabung yang sering kita sebut wacana. Maklum, saya sadar diri untuk tidak menyodorkan telapak tangan ke hadapan orang tua saya untuk urusan kesenangan saya semata. Melihat juga keluarga saya yang juga bukan tumbuh dengan kegelimangan harta, saya lebih memilih untuk menabung dan mengumpulkan uang sendiri dalam hal travelling seperti ini. Maka dari itu, semua rencana perjalanan yang sering saya bicarakan bersama teman-teman berujung pada kenihilan semata. Pada dasarnya saya cuma ingin menyatakan, kalau picture itu masuk ke dalam resolusi semester IV saya, ya travelling. Begitu ajaran baru dimulai nanti, menabung bakal ada di deretan list teratas saya. Saya pribadi sih inginnya resolusi ini gak hanya bertahan 1-3 minggu, tapi namanya manusia (apalagi saya) suka ngga konsisten, jadi kita lihat saja ke depannya nanti, does this work or not. 
Untuk resolusi-resolusi lainnya, saya ngga mau sebut di sini. Karena saya ngga yakin bisa merealisasikan itu semua. Bukannya pesimis, tapi saya bukan tipe orang yang muluk-muluk. Saya tahu mana yang bakal saya realisasikan, dan mana yang saya sisakan buat direalisasikan belakangan. Dan kenapa saya menyebutkan perihal travelling, karena saya yakin hal itu mampu saya lakukan, travelling dari hasil menabung. Saya juga ngga paham dari mana bisa nemuin percaya diri yang sebesar ini, haha. Tapi saya sudah memutuskan nantinya akan mencanangkan the power of 20ribu haha walau masih ragu mau 20rb atau 10rb-__- Yah, apapun itu, walaupun travellingnya batal, setidaknya menabung itu ngga ada salahnya kan. 
Mungkin muncul pertanyaan, apa hubungannya travelling sama masalah renungan diri yang saya lontarkan di awal postingan. Saya hanya berpikir, bahwa saya kurang menjelajah hidup. Saya kurang bisa membuka diri, sampai akhirnya seperti ini. Belum memahami diri sendiri, belum memahami bakat saya, dan bahkan hal yang saya sukai. Entah sampai kapan saya bertahan dengan hidup dengan pola garis lurus begini. Entah sampai kapan saya akan merubah kegiatan saya bukan lagi sebagai formalitas. Entah kapan saya bisa menjadi mahasiswi layaknya mahasiswi yang bisa kritis dengan keadaan negara. Entah kapan saya bisa menjadi aktivis yang bisa merubah suatu kondisi atau minimal mengadakan acara sendiri. Entah, dan entah......Lagipula, siapa sih di muka bumi ini yang ngga ingin jadi seseorang yang bisa sukses karena dia mampu mengenal siapa dia? Everyone does, of course. Saya nggak tahu bagaimana ke depannya. Namun satu hal yang saya harap, saya ngga cuma bergantung sama takdir Allah dan cuma mengiyakan alurNya.
Read More

Friday, January 17

Dekapan Kerinduan

Entah harus memulai dari mana, dan entah harus mempersingkat cerita dengan memilih untuk menceritakan bagian mana. Berawal dari rasa aneh yang tiba-tiba muncul. Rasa aneh yang selama ini belum pernah nampak; atau emang guenya aja yang selalu mengingkari keberadaannya. It's been nine days since I got here, Jakarta, dan tebak apa berita anehnya? I just have passed two days here, sampai akhirnya gue sadar.....gue rindu kota perantauan itu, gue rindu Solo. Awalnya gue coba buat ngehalau perasaan ini, yang berkelibat di kepala gue cuma "alah, ngga mungkin!!! lagi ngga ada kerjaan aja makanya bilang begini". dan berkat sudut pandang itu, gue cuma bersikap 'bodo amat this must be joking'.
Hari itu berlalu dengan lesunya. Maksudnya, gue yang lesu menjalaninya. Kegiatan gue cuma seputar makan-tidur-mandi-nonton-internetan. Udah itu-itu aja kayak lingkaran setan. Dan hal itu makin makin membuat gue rindu....tanpa gue tau aspek apa yang sebenarnya gue rindukan. Hari keesokannya gue sambut dengan kegiatan yang agak-lebih-bervariasi dari hari sebelumnya. Gue coba cari kesibukan, gue bener-bener ngehindarin yang namanya suwung (dalam bahasa Indonesia: gak punya kerjaan). Namun....semakin gue mencoba sibuk, semakin gue paham, semakin gue ngerti kalo perasaan rindu akan Solo itu nyata. Itu semua nyata :""") Gue mencari celah buat paham apa yang ngebuat gue rindu, dan gue belum bisa menemukan apa-apa. Yap, I have no answers. 

Lagi, hari demi hari gue lewatin dengan rutinitas yang ngga jauh beda sama hari-hari sebelumnya. Tapi dini hari kali ini beda. Dini hari ini mata dan pikiran gue terbuka lebar-entah seiring dengan siakad yang jam 00.00 tadi udah lampu hijau tanda terbuka lebar atau bukan-seketika itu pula gue kembali ditampar dengan fakta-fakta yang selama ini emang enggan buat gue akui. Gue ternyata rindu banyak hal. Di sela-sela pembicaraan temen2 gue 'woy ke nannys pavilon yuk', 'sushi tei yuk', 'hanamasa yuk', dan berentet nama tempat lainnya yang ribet dan engga gue kenali, gue rindu kata-kata 'eh angkringan lah yuk'. Ntah bagaimana, Solo berhasil mengajarkan gue bahwa kesederhanaan itu menghangatkan. Gue rindu makan kucingan, minum es teh, dan cuma dengan bekal seperti itu, gue dan kawan makan gue lainnya betah buat tinggal berjam-jam cuma buat sekedar bercengkrama. Gue rindu sosis naga, yang awalnya gue sangka ini tempat waw banget cause everybody talks about this, dan ternyata itu semua diluar ekspetasi. Sosis naga yang tempatnya cuma berada di pinggir jalan, duduk diatas lembaran-lembaran tiker, and yes....that's enough buat orang-orang sini merasakan yang namanya bahagia. Bukan karena apa-apa, tapi karena kehangatan yang timbul dari sekedar duduk lesehan dan ngobrol ngalur-ngidul, ketawa lepas, nyanyi-nyanyi. 

Gue rindu bisa senyum dan ngebales senyuman orang yang bahkan gak gue kenal. Yak, ini hebatnya warga sana. Beli sate di tukang keliling waktu lewat depan kos aja bisa ngobrolin tentang apapun sama abangnya, bukan cuma sekedar 'bang, satenya satu, sambel kacangnya banyakin ya'. Apalagi Koko, dengan kecerewetan dan sikapnya yang gampang membaur, kerap kali dia ngobrol sama tukang (entah itu tukang jualan, tukang tambal ban, tukang fotocopy-ann, dan tukang2 lainnya) udah berasa kaya sahabat yang ngga ketemu 7 tahun, heboh hahaha. Kadang, kebiasaan gue yang suka senyum ke warga sana suka kebawa kalo gue lagi di Jakarta dan alhasil gue disangka ganjen terus digodain-_- 

Seperti yang udah gue tulis berkali-kali di atas, Solo bener-bener ngajarin gue kesederhanaan, walau pada kenyataannya Solo juga udah masuk kota-kota maju. Solo sendiri punya 3 mall, yang kalo ditambah sama mall2 di Solo Baru entah jadi ada berapa. Di sini juga ada Premiere, XXI, 21, dan Blitz nyusul, yang ngga perlu nunggu sebulan sampai dua bulan dari jadwal aslinya tayang buat nonton film-film terbaru. Ya, intinya kota kecil ini udah ngerti modernisasi, enggak se-pelosok yang kalian pikir. Tapi seiring dengan itu semua, tetep kesederhanaan kota ini yang justru bikin gue kangen. Gue cinta sama suasana Solo, walau gue benci banget sama teriknya yang cukup bnget ngebikin kulit gue dekil dalam hitungan hari. Dan tentunya, gue kangen buat berada di Solo karena cuma di sini gue bisa terdeteksi dalam radarnya Koko, begitu pula sebaliknya.
Read More

Wednesday, January 1

Welcome, 2014!!!

Yoooo men, selamat hari kembang api sedunia!!! Selamat menempuh tahun yang baru ya, yang konon semua orang bakal punya resolusi-resolusi baru juga buat nyambut berlalunya tahun yang lagi dilewatin ini. Buat gue sendiri, gue cuma bisa berharap semoga tahun ini lebih baik dari sebelumnya. iya gue tau ini basi, terlalu bersikap kaya ikan mati yang cuma bisa ngikutin arus air. Tapi gue emang ngga pingin yang muluk-muluk. Apa yang bisa dilakuin di tahun 2014 ini, ya gue lakuin. Syukur-syukur banyak hal baru yang bisa gue coba, biar gue gak jenuh. Syukur-syukur juga bakal banyak sosok baru yng bisa ngasih pelajaran hidup biar gue juga bisa belajar lebih banyak. Dan masih banyak syukur-syukur lainnya yang gue harapkan dateng di tahun yang baru ini haha.
Singkat cerita, goodluck dengan tahun barunya ya. Semoga semua resolusi-resolusi yang udah kalian buat bisa tercapai, at least setengah dari total yang kalian harapkan. Amin aalhuma amin.
Read More